Jumat, 31 Oktober 2014 0 komentar

Mengigau

Hai..
apakabar?
bukankah akhir-akhir ini malam menjadi hangat dan ramai?
tidakkah kau juga merasakannya?
malam yang lalu, malam kemarin, juga malam ini sepi dan gelap mendadak hilang, berganti dengan hangat dan selimut tebal, ah mungkin karena langit kita berbeda mungkin kau tidak merasakannya.

hai, apakabar?
hujan mengingatkan lagi semua hal yang kuredam, tentang pertemuan pertama kita di sore yang riang ditemani hujan, tentang pertemuan kali kesekiannya kita di sore yang deras, juga banyak pertemuan kita yang selalu ditemani hujan.
tidakkah kau mengingatnya juga?

sepertinya aku mulai mengigau lagi...

Minggu, 26 Oktober 2014 2 komentar

Ibu, terimakasih..



Suatu malam di akhir waktu kepulanganku, dengan bermanja-manja sebab rindu yang terlampau sesak pada ibu, aku meminta tidur satu ranjang bersamanya, beratapkan kelambu untuk menghindari nyamuk yang keberadaanya menganggu tidur, berselimutkan kain tebal dan kami saling berpelukan hangat, kalau sudah begini membuatku malas untuk kembali, biar saja aku disini, disamping ibu berselimut hangat berdua.
Selain karena betul-betul ingin tidur bersamanya, ada satu hal penting yang sangat ingin kuceritakan padanya, ah pada siapa lagi mengadukan resah dan gundah selain pada seseorang yang mengurus kita sejak kecil dan tahu apa yang harus dilakukan untuk anak kesayangannya.
Berawal basi-basi yang remeh, bertanya ini itu soal keseharian ibu saat aku tak disampingnya, kulanjutkan dengan memancingnya menceritakan kisah masa lalunya bersama bapak atau bahkan sebelum bertemu bapak, dan mengalirlah begitu saja seperti air, hanya satu dua pertanyaan, jawaban sudah melengkapi semua pertanyaan bahkan yang belum diajukan sekalipun. Ibu memang senang sekali bercerita, kata banyak orang dan beberapa teman dekat ibu yang kukenal, dia memang sosok perempuan tangguh, aktif, kritis, dan selalu jadi juru bicara. Itu memang benar, kalau ditelpon saja baru tanya kabar, jawaban sudah sampai pada menu makanan, hahaha ah ibu ibu memang sosok yang luar biasa.
Ada satu hal yang mengejutkan dari cerita ibu, ternyata ibu dan bapak adalah hasil dari perjodohan, sebelumnya ibu sudah mencintai seseorang sejak lama, hampir 10 tahun, laki-laki itupun mencintai ibu, tapi entah kenapa mereka selalu ragu untuk berencana menikah, ibu bilang laki-laki yang ia cintai seseorang yang lemah, pengetahuan agama yang kurang baik dan sebagainya, sudah tahu begitu masih saja cinta, dasar, hihihi.. dan akhirnya ibu dan bapak dijodohkan oleh guru ibu di sekolah, dan bapak adalah salah satu guru juga disana, usia mereka terpaut 10 tahun, kalau kuingat-ingat wajah bapak, memang beliau sudah sangat tua sekali, aku merasa lebih baik memang Allah mengambilnya dengan usia bapak yang sudah rentan itu.
Akhirnya aku menemukan titik temu yang cocok, aku mulai bercerita sedikit demi sedikit tentang keresahanku, awalnya hanya soal sekolah yang kuajar, murid-murid dan sampailah pada satu sosok itu, tentang seseorang yang juga pernah mampir sesaat dalam hidupku dan hingga hari ini aku masih belajar melepasnya, sebab melepaskan tidak semudah saat pertama kali bertemu dan menemukan perasaan baru padanya, tidak semudah itu, aku harus membunuh setiap kali kerinduan muncul dalam sesak, aku harus mengubur setiap kali rasa mulai memenuhi hati, sementara aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa mengingatnya begitu saja seperti angin.
Bu, terkadang aku menyesal sudah bertemu dengan dia, andai saja dulu tak pernah bertemu, tak pernah kenal, kami tak pernah memiliki rasa yang sama, andai saja...
Kataku pada ibu dengan perasaan penuh sesal. 
Kamu salah nak, justru harusnya kamu bersyukur sudah pernah mengenalnya, kalian memiliki perasaan yang sama, hanya waktu yang tak berpihak, dan itu bukan sebuah kesalahan, kalian pasti memiliki waktu yang manis bersama dan itulah kenangan yang bisa kau ingat suatu hari nanti, tentu saja kenangan hanyalah bagian dari masa lalu, masa depan nanti akan jadi milikmu dengan seseorang yang lebih baik lagi darinya. Seperti bapak dan ibu. Ibu tak pernah menyesal sampai hari ini.
Betulkah begitu, aku hanya harus bersyukur karena waktu yang pernah kulalui dengannya merupakan kenangan manis?
Aku hanya harus belajar lebih banyak pada ibu, belajarkan melepaskan masa lalu dan membuka lagi pintu yang baik untuk masa depan..
Ibu, selalu mengobati luka dengan cara yang tidak pernah diduga...




24102014, Bogor. 
0 komentar

Aku baik-baik saja



Tentu saja aku baik-baik saja, aku masih bisa tersenyum dan tertawa, hey kita ini apa sih? Hanya sekedar numpang mampir di bumi Tuhan, datang sendirian, tak pernah punya siapa-siapa dan tak pernah jadi milik siapa-siapa, maka akan baik-baik saja jika manusia yang hidup lalu lalang masuk keluar dalam hidup kita, datang dan pergi begitu saja, untuk yang datang kita sambut dengan baik dan berbuat baik padanya, untuk yang pergi relakan dengan senang hati, sebab kepergian tak selalu berujung pada kesedihan, ada juga kepergian yang membahagiakan.
Aku sungguh baik-baik saja, sebab hidup memang harus terus berjalan ada atau tidaknya seseorang yang peduli pada kita, sebab segalanya menjadi kita saja seorang, perbuatan kita, kebaikan kita, jangan terlalu risau memikirkan orang lain yang tak pernah jelas, bahkan malaikat saja menanyai kita seorang saja, tidak berdua, tidak juga dengan orangtua, keluarga, sahabat dekat, apalagi bersama seseorang yang hanya hadir sesaat dalam hidup kita, rasanya mustahil.
Untuk itu, aku berharap tidak pernah ada yang berubah, semuanya baik-baik saja, aku tetap menjadi aku yang keras kepala dan selalu ingin belajar banyak hal, tak peduli ada atau tidaknya seseorang yang akan bertanya kabar atau sekedar menceritakan kisah di malam hari.
Abi, do’akan anakmu yang manis ini selalu kuat dan tegar menghadapi apapun, sekuat umi saat kau meninggalkannya...


Pakpayoon.
26 Oktober 2014


Sabtu, 04 Oktober 2014 0 komentar

Hanya saja, ingin bercerita padamu..




Abi, apakabarnya engkau disana? Bagaimana rasanya indah syurga? Aku sungguh berharap pada Dia menempatkan engkau pada kedudukan yang tinggi. Amin.
Abi, anak pertamamu yang manis ini tentu saja selalu baik-baik saja, usiaku sudah 22 tahun hampir saja sampai di 23, berat badan terakhir kemarin 59 kg, ah engkau tentu tak akan khawatir dengan kondisiku yang sehat ini. Anak abi yang kedua dan si bungsu juga baik-baik saja, ah kemarin sudah kuceritakan bukan kalau dede sudah masuk perguruan tinggi dan si bungsu sudah 2 SMP dan tinggal di pesantren juga aktif di kegiatan sekolah, tak berbeda jauh denganku, yah sebab si bungsu selalu ingin menjadi tetehnya, andai dia tahu tetehnya sangat biasa saja, tak ada apa-apanya.
Abi, sudah 6 bulan berlalu aku menetap di negri antah barantah ini, dan abi tahu sebentar lagi aku mau pulang, ah rasanya rindu ini sudah terlalu penuh untuk kutampung jadi kubiarkan ia terurai satu persatu, rindu umi, rindu si dede dan si bungsu dan tentu saja rindu semua hal yang ada di negri kita. Disini aku baik-baik saja, betah, guru-guru dan tetangga baik-baik, murid-muridnya, yah seperti yang abi tahu ada saja murid-murid nakal yang sedang berproses menjalani kehidupan, tapi aku sungguh baik disini, hanya saja yah hanya saja pada satu waktu ketika sepi dan bosan mencekik leher dan tak ada yang bisa dilakukan, pada satu waktu itulah jalan yang teringat adalah pulang, sebab pulang adalah obat dari semua kerinduan.
Abi tahu, kemarin adalah idul adha yang sudah kesekian tak kulalui bersama keluarga, tidak hanya sekali dua kali tapi sudah sering, dan ini yang terberat karena begitu jauh dari siapapun, tak ada tempat untuk sekedar menyimpan rindu yang sudah penuh, semua disini terasa sempit sekali. Di negri antah barantah ini perayaan lebaran bukanlah seperti yang kita rasakan di negri muslim biasanya, disini sepi sekali, bahkan tak ada suara takbir, bahkan beberapa hari sebelumnya aku lupa kalau esoknya adalah lebaran idul adha.
Abi, sekarang aku sudah mulai membaik dalam mengontrol diri, mengontrol perasaan dan menahan semua yang mendidih dalam hati, perlahan-lahan aku sudah bisa, di surat yang kesekian aku pernah bercerita bukan tentang sosok dia, seseorang yang alisnya mirip sekali denganmu, sebab begitu banyak hal yang terjadi dan tentu saja aku sadar diri siapa diriku ini maka aku belajar untuk menahan, semoga hasilnya manis suatu saat nanti, abi ingat kan sosoknya, seseorang yang kusebut namanya dalam do’a.
Abi, esok ketika sudah sampai rumah, sudah bertemu umi dan kedua anak abi yang lain aku janji akan mengirimimu surat kembali, aku janji, janji anak pertamamu, pasti abi juga rindu umi, aku akan menceritakan bagaimana keadaan umi nanti..
Abi, selamat malam...

04 Oktober 2014
Pakpayoon.


Sabtu, 27 September 2014 0 komentar

Deraslah



Kau boleh membuka hatimu pada yang lain, aku tak melarang.
Katamu suatu hari dengan wajah dinginmu, dan wajah dingin itu menjadi begitu amat dingin dari biasanya sebab dingin hujan membuat pertemuan kita menjadi berbeda.
Aku tak mau.
Jawabku ketus.
Kau pikir mudah membuka hati untuk orang lain? Andai saja tetes hujan saat itu bisa kuraih ingin sedikit kubasahi wajahmu dengannya agar kau tersadar dari kata-kata aneh itu.
Aira
Panggilmu tajam, ah kata-katamu sore itu mendadak seperti sebilah pisau.
Sebelum kata-katamu semakin sulit kuterima, kubiarkan kau meracau sendiri dengan hujan.
Mau kemana aira?
Tanyamu masih dengan wajah dingin.
Tak perduli hujan sederas apapun, lebih baik aku tak mendengar lagi bicaramu yang aneh itu.
Biar saja hujan turun sederas apapun, dengan begitu tak pernah ada yang tahu ada tetes hangat di pipiku..



Jumat, 26 September 2014 0 komentar

Menemukan cahaya lewat qurban


Namanya raya, seorang gadis yang sejak kecil tinggal dan tumbuh di panti asuhan, saat ini ia sudah beranjak remaja, setidaknya ia sudah mulai mengerti tentang siapa dirinya dan kenapa ia hidup di panti sejak kecil. Kedua orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil dan ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki tapi sayang sekali ia tak tahu kakak laki-lakinya berada dimana saat ini karena sejak kecil ia diadopsi oleh keluarga kaya dari kota besar dan dengan terpaksa raya ditinggalkan di panti asuhan.
Panti asuhan tempat ia tinggal dikelola oleh gereja, jadi setiap hari minggu semua anak panti diwajibkan berkunjung ke gereja, meminta pengampunan pada pastur dan memohon do’a, sementara di hari-hari biasanya ia bersekolah di sekolah khusus biarawati, santa maria namanya. Letak sekolahnya dekat dengan panti tempat ia tinggal.
Raya, berbeda dengan kebanyakan anak panti lainnya, ia selalu bertanya banyak hal pada pastur atau biarawati, tentang hidup, tentang Tuhan, tentang nasib dan takdir. Raya merasa sangat sedih bahwa selama hidupnya tak pernah bisa merasakan kasih sayang ayah ibunya sebab keduanya meninggal saat raya masih bayi. Ia selalu bertanya kenapa Tuhan begitu jahat, begitu tak adil mengambil dan merampas hak seseorang begitu saja bahkan sebelum ia tumbuh dewasa. Sudah sering ia habis dimarahi dan dipukul oleh biarawati di santa maria sebab pertanyaan-pertanyaan konyolnya dan menganggap Tuhan tak adil.
Pada hari-hari berikutnya raya semakin enggan pergi ke gereja, sebab ibadah yang sudah ia lakukan selama ini tak juga membuatnya damai dan merasakan kebaikan Tuhan, bahkan kakak satu-satunyamasih tak ada kabar juga.
Raya, kenapa tadi tidak pergi dengan teman-teman lainnya?
Tanya pengasuh panti, seorang ibu paruh baya yang hanya membalas dengan senyuman bila raya bertanya ini itu soal hidup dan lain hal.
Kalau raya bisa bertemu abang, raya baru mau pergi ke gereja.
Seperti itulah jawaban raya setiap kali ditanya mengapa enggan pergi ke gereja.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan tentu saja raya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh tanya dalam hidupnya.
Suatu hari raya bertekad mencari kakak laki-lakinya ke kota besar, dulu memang sempat keluarga yang mengadopsi kakaknya meninggalkan alamat, sudah sejak dulu raya ingin mencari tapi dulu ia masih kecil dan belum memiliki keberanian pergi ke kota besar apalagi tak ada orang yang dikenal. Ia mohon pamit pada pengasuh panti, kalau-kalau ia tak bisa menemukan kakaknya mungkin ia akan kembali, tapi bila ia tak juga kembali anggap saja ia sudah bertemu dengan kakaknya, begitulah pesan raya pada ibu pengasuh panti.
Perjalanan pun dimulai, raya pergi ke kota besar dengan berbekal alamat yang ia sendiri tak pernah tahu dan tak pernah ia kunjungi sebelumnya, peta kota besar sudah ia pegang, ia hanya perlu sering bertanya pada orang yang lewat atau pedagang di pinggir jalan.
Dari pagi sampai sore ia mencari, peluh keringat sudah sejak tadi membasahi bajunya, perutnya yang kosong sudah berteriak minta diisi, akhirnya ia beristirahat sejenak di sebuah warung makan sederhana.
Baru beberapa suap saja ia makan, tiba-tiba saja ia mendadak berhenti, sendok yang akan disuapi mulutnya tertahan, baru saja ia mendengar nama jalan yang ia cari sejak pagi disebut-sebut oleh ibu penjual makan. Dan dengan segera raya bertanya dimana letak jalan yang ibu penjual maksud, jalan kemang, itulah naman jalan alamat dari keluarga yang mengadopsi kakaknya.
Raya lupa makannya belum usai, tapi ia segera berlari mencari angkot, dengan wajah yang sedikit lega ia bisa bernafas, setidaknya sebentar lagi alamat itu akan ia datangi dan kakaknya, ah sudahlah ia hanya mencoba, dalam hatinya pun tak sepenuhnya yakin sebab itu sudah lama sekali, siapa tahu keluarganya pindah.
Akhirnya angkot berhenti, sampailah ia di jalan kemang, raya turun dari angkot, matanya masih melirik kanan kiri, ia baru sadar rupanya langit sudah semakin gelap, semoga pencariannya usai malam ini juga.
Raya bertanya berkali-kali pada orang yang lewat, tapi masih belum menemukan titik terang, sampai akhirnya raya merasa kelelahan dan ia melihat ada keran air yang digunakan banyak orang mencuci muka, ia segera melangkah ke arah tempat keran air, tepat saat langkahnya berhenti di depan pagar bangunan itu, ada suara yang menggema keluar dari sana, entah suara apa raya tak tahu, sejak kecil ia tak pernah mendengar suara seperti ini, dan raya benar-benar dibuat terpukau dengan suara itu, lembut, syahdu, dan damai, itulah yang ia rasakan. Setelah suara yang mendamaikan itu berhenti, raya memasuki halaman bangunan itu, disana ada banyak orang berkumpul laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bergantian mencuci wajah dan kakinya di keran air, dan perempuan memakai kain penutup kepala berwarna putih berkumpul di bagian belakang, raya mulai merasa heran, apa mungkin ada suatu acara di bangunan ini, tapi sepertinya ini bukan rumah karena dilihat dari sisi manapun tak mirip rumah, lebih mirip bangunan-bangunan sejarah yang pernah ia lihat di internet.
Raya tak peduli, ia terus saja melangkah dan mendekati keran air tempat para laki-laki mencuci wajah dan kakinya.
Belum sampai ia melepas tas kecilnya, seorang laki-laki tua mendekatinya.
Nak, kalau mau wudlu di sebelah sana ya, ini khusus laki-laki.
Ucap laki-laki tua itu sambil menunjuk sebuah bangunan kecil tak jauh dari tempat keran air.
Ia hanya mengangguk saja, apa tadi katanya wudlu? Wudlu itu apa lagi, raya semakin merasa heran berada di bangunan itu.
Selepas ia mencuci wajahnya ia masuk ke dalam bangunan itu, dan ia melihat ada seorang lelaki tua berdiri seorang diri di depan banyak orang dalam bangunan dan sepertinya akan ada yang ia sampaikan, karena merasa penasaran raya akhirnya duduk di belakang.
Banyak sekali yang lelaki tua itu sampaikan sampai raya merasa mengantuk, sebab tak mengerti apa yang ia sampaikan, tapi tetiba saja rasa kantuknya hilang saat ia mendengar dari laki-laki tua itu kalimat “bagaimana bisa Ibrahim merelakan anaknya untuk Tuhan, itulah qurban, sebuah ketundukan, ketaqwaan sungguh-sungguh, merelakan sesuatu yang sejatinya bukan milik kita”.
Raya mulai tertarik, ia mendengarkan dengan serius.
Jama’ah pengajian, siapa diantara kita yang rela, yang ikhlas, yang mau orang yang sangat disayangi diambil? Anak, masyaAllah, anak adalah hadiah terbesar untuk kita semua bagaimana mungkin kita rela anak kita diambil, saya yakin tidak ada orangtua yang mau merelakan anaknya, ditambah lagi anak yang kita relakan itu harus kita sembelih, bayangkan disembelih? Kita pasti akan memilih lari dan menolak keras.
Yah, itulah kita memang tak pernah rela, bagaimana mungkin orang yang disayang diambil, dalam hatinya raya bergumam sendiri. Ah kata-kata lelaki tua itu dahsyat sekali, raya semakin bersemangat untuk terus menyimak kata-kata lelaki tua di depan sana.
Tapi coba jama’ah bayangkan, justru ketika anak yang akan disembelih tadi tiba-tiba saja berubah menjadi seekor binatang, dan kemana si anak , dia selamat, masyaAllah betapa hebatnya ibrahim, bahwa Allah hanya sedang mengujinya.
Itulah qurban, sebuah ujian untuk seorang hamba, sejauhmana ketaqwaannya pada Tuhan dan sejauhmana ia tunduk dan ikhlas merelakan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya, sebab di dunia segala hal, anak, istri, suami, harta semuanya hanya titipan dari Allah.
Entah kenapa raya merasa ia dibius total oleh lelaki tua itu, kata-kata yang keluar darinya begitu menenangkan, damai, dan ternyata ada orang sehebat itu di dunia ini, siapa tadi, ibrahim, ya ampun luar biasa sekali ibrahim. Kenapa dia begitu saja mau menyembelih anaknya hanya karena itu permintaan Tuhan.
Raya merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya, banyak hal yang ingin ia tanyakan pada lelaki tua itu, tentang hidupnya, tentang keadilan dan tentang bagaimana bisa seikhlas ibrahim, ia ingin bertemu ibrahim jika bisa.
Selesai acara tadi, semua orang bubar, dan dengan cepat raya menghampiri lelaki tua tadi.
Pak, permisi, saya raya, boleh saya tanya beberapa hal pada bapak, sepertinya bapak orang yang luar biasa.
Lelaki tua itu tersenyum mengiyakan, ah senyum itu mendamaikan sekali, senyum seorang ayah yang ia impikan.
Dek raya, apa tidak keberatan kalau bapak ajak ke rumah bapak saja, sambil kita makan malam, bapak sudah lapar.
Tangan keriputnya menunjuk perut sambil tersenyum dengan senyum mendamaikan.
Tentu saja raya mengiyakan, dia juga sama, sudah lapar.
Sampai rumah bapak tua, ah sumpah ini rumah atau istana, bangunan megah dihadapannya adalah rumah lelaki tua ini, tapi lihatlah bapak tua ini, dia sederhana sekali, aku pikir bapak tua itu hanya orang biasa.
Raya bergumam saja dalam hati.
Mari dek raya, anak dan istri saya sudah menunggu di dalam.
Sampai dalam rumah, betapa terkejutnya raya akan kemegahan isi rumah, segalanya lengkap dan sangat mahal pastinya.
Bu, arif, ini ada tamu, ayo makan bersama.
Ah mungkin bapak tua itu sedang memanggil anak dan istrinya.
Beberapa detik kemudian seorang ibu paruh baya mengenakan penutup kepala keluar dari kamar, dan seorang laki-laki dewasa turun dari tangga.
Siapa tamunya abi?
Suara dari atas tangga terdengar.
Ah itu mungkin anak laki-lakinya.
Sampai akhirnya keduanya berada dihadapan raya, betapa terkejutnya ia.
Dadanya bergemuruh, tangannya gemetar, dan airmata menetes begitu saja, bibirnya tertutup, ia tak bisa bicara.
Laki-laki yang dihadapannya ini,..
Raya.
Namanya keluar dari bibir anak laki-laki bapak tua itu.
Kakak.
Detik kemudian keduanya saling berpelukan. Tuhan bapak, Tuhan anak, roh kudus, akhirnya aku bertemu kakakku.
Rupanya kakaknya memeluk Islam, agama lain, bukan kristen, dan keyakinan mereka berbeda. Saat itu juga kak arif, kakak satu-satunya itu mengenalkan Islam pada raya, ia menceritakan tentang kisah ibrahim dan anaknya ismail.
Satu bulan kemudian keyakinan menggenapkan niat raya, ia masuk Islam.
Ia menemukan cahaya lewat qurban, lewat ibrahim, lewat ismail dan cerita tentang para Nabi, ah andai saja mereka masih ada raya ingin sekali bertemu.
Raya akhirnya tahu mengapa kedua orangtuanya diambil bahkan sebelum ia sempat bertemu, bukan karena Tuhan tak adil, tapi justru karena Tuhan sayang pada kedua orangtuanya dan agar raya bisa jadi hamba Tuhan yang baik.
Betul begitu kak arif.
Senyum cantiknya kini merekah, jilbab merah menutupi kepalanya...



26 September 2014
Refleksi qurban.


Selasa, 23 September 2014 0 komentar

Ada hikmah, ada jawaban



Terkadang kita terlalu sering melupakan, menganggap remeh dan tidak mensyukuri tiap hal yang terjadi dalam hidup kita, yah sering melupakan bahwa jawaban itu ada di sekitar kita juga. Seperti malam ini. Seorang teman bercerita padaku, ah lagi-lagi aku selalu menjadi pendengar, bagaimanapun aku memang suka orang lain memberikan kepercayaan mereka padaku, walaupun sejauh ini aku tak bisa memberikan solusi yang baik untuk mereka, tapi aku tahu mereka pasti sedikit lega dengan beban yang mereka tanggung.
Nay, mas pengen cerita.
Lalu mengalirlah cerita menjadi anak sungai yang cukup panjang dan dalam, lagi-lagi soal hati dan perasaan, ah kenapa harus melulu soal itu si, sebab masalahku pun demikian sama.
Seseorang yang kupanggil mas ini bercerita soal perjodohannya yang batal, dan ah dia ingin move on mencari calon istri lain yang sekiranya bisa diajak nikah dalam waktu secepat ini, begitu mudahnya berpindah hati pikirku. Tapi sebelum jauh pikiran burukku berkembang menjadi virus negatif dia sudah menyanggah lebih dulu, dia bilang bukan mudah move on tapi dia tak ingin terus menerus berada dalam kondisi yang terpuruk sementara dia ingin segera menikah.
Bagaimana mungkin aku bisa memberikan jawaban dengan seseorang yang ingin move on mencari sosok lain sementara aku saja sampai hari ini masih terpuruk dalam sangkar harapan kosong yang menyedihkan.
Bukan mas cepat move on nay, tapi mas gak mau mikirin hal-hal yang tidak mungkin lagi dipikirkan, mas gak mau terpuruk, mas gak ingin berharap sendirian.
Jleb. Ah tidak kata-katanya benar-benar membunuhku perlahan, begitu menusuk sekali sampai aku lupa bagaimana rasa sakitnya.
Mungkin inilah cara Tuhan memberikanku pelajaran, jangan membuat harapan kosong sendiri di langit biru, di tetes hujan yang membasahi jendela atau di jalanan lengang.
Selalu ada hikmah, ada jawaban...
Tuhan, haruskah aku juga membuka hatiku?



23 September 2014

Pakpayoon. 

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;